BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang santun karena dalam islam
sangat menjunjung tinggi pentingnya etika, moral dan akhlak. Akhlak adalah hal yang
terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak mencakup segala pengertian
tingkah laku, tabi'at, perangai, karakter manusia yang baik maupun yang buruk
dalam hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama makhluk. Rasulullah saw
bersabda: " Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah ialah yang
paling baik akhlaknya". Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jika kita perhatikan, akhir-akhir ini banyak orang telah mengabaikan pembinaan
akhlak dan etika, padahal masalah akhlak tidak bisa dianggap remeh, karena
akhlak merupakan kunci perubahan individu, sosial atau kesejahteraan dan
kebahagiaan hakiki. Pada makalah ini saya akan memaparkan penjelasan secara
umum mengenai akhlak dan etika.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Jelaskan sejarah pertumbuhan dan perkembangan
ilmu akhlak ?
2.
Apa pengertian, ruang lingkup dan
manfaat mempelajari ilmu akhlak ?
3.
Apa hubungan ilmu akhlak dengan ilmu
lainnya ?
4.
Jelaskan macam-macam akhlak ?
5.
Apa pengertian etika dan ruang
lingkupnya ?
6.
Jelaskan hubungan etika dengan akhlak ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui sejarah pertumbuhan dan
perkembangan ilmu akhlak.
2.
Mengetahui pengertian, ruang lingkup dan
manfaat mempelajari ilmu akhlak.
3.
Memahami hubungan ilmu akhlak dengan
ilmu lainnya.
4.
Memahami macam-macam akhlak.
5.
Mengetahui pengertian etika dan ruang
lingkupnya.
6.
Memahami hubungan etika dengan akhlak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Akhlak
Menurut
Ahmad Amin dalam bukunya yang berjudul Etika (Ilmu Akhlak), pembahasan mengenai
pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak menggunakan pendekatan kebangsaan,
religi dan periodesasi. Dengan pendekatan seperti ini ia membahas pertumbuhan
dan perkembangan akhlak pada bangsa Yunani, dalam abad pertengahan, pada bangsa
Arab, pada agama Islam dan pada zaman baru.[1]
Sedangkan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak dalam buku Akhlak
Tasawuf karangan Abuddin Nata menggunakannya dengan pendekatan religi. Dengan
pendekatan religi ini, pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak dapat dibagi
pada dua bagian. Pertama, pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak diluar
ajaran Islam (non Muslim) dan yang kedua, didalam ajaran Islam. Cara ini
ditempuh karena secara historis keberadaan perkembangan adat istiadat
masyarakat termasuk agama dan akhlak pada masyarakat diluar Islam telah ada lebih
dahulu dibandingkan dengan ajaran akhlak yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.[2]
1.
Ilmu akhlak diluar agama Islam
a.
Akhlak pada bangsa Yunani
Pertumbuhan
dan perkembangan ilmu akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya
apa yang disebut Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana. Sedangkan sebelum
itu dikalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena
pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam. Dasar
yang digunakan para pemikir Yunani dalam membangun ilmu akhlak adalah pemikiran
filsafat tentang manusia. Sejarah mencatat, bahwa filosof Yunani yang pertama
kali mengemukakan pemikiran dibidang akhlak adalah Socrates. Keseluruhan ajaran
akhlak yang dikemukakan para pemikir Yunani tampak bersifat rasionalistik,
yaitu penentuan baik dan buruk didasarkan pada pendapat akal pikiran yang sehat
dari manusia.[3]
b.
Akhlak pada agama Nasrani
Pada akhir abad ketiga Masehi
tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasi mempengaruhi
pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang tersebar dalam
kitab Taurat dan Injil. Menurut agama ini bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Ajaran
akhlak pada agama Nasrani ini tampak bersifat teo-centri (memusat pada Tuhan) dan sufistik (bercorak batin). Agama ini menghendaki agar manusia
berusaha sungguh-sungguh mensucikan roh yang terdapat pada dirinya dari
perbuatan dosa, baik dalam bentuk pemikiran maupun perbuatan. Dengan demikian,
agama ini menjadikan roh sebagai kekuasaan yang dapat mengalahkan hawa nafsu
syahwat. Akibat dari paham akhlak yang demikian itu, kebanyakan para pengikut
pertama dari agama ini suka menyiksa dirinya, menjauhi dunia yang fana,
beribadah, zuhud dan hidup menyendiri.[4]
c.
Akhlak pada bangsa Romawi (abad
pertengahan)
Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan
dikuasai oleh gereja. Ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad ini adalah
ajaran akhlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran
Nasrani. Diantara mereka yang termasyhur adalah Abelard, seorang ahli filsafat
Perancis, dan Thomas Aquinas, seorang ahli filsafat Agama berkebangsaan Itali.
Corak ajaran akhlak yang sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani
dan ajaran agama itu, nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak
yang terdapat dalam Islam, sebagaimana terlihat pada pemikiran akhlak yang
dikemukakan kaum muktazilah.[5]
d.
Akhlak pada bangsa Arab
Bangsa Arab pada zaman jahiliyah tidak mempunyai
ahli-ahli filsafat yang mengajak kepada aliran paham tertentu. Hal tersebut
karena tidak berkembangnya kegiatan ilmiah dikalangan masyarakat Arab. Pada
masa itu bangsa Arab hanya mempunyai ahli-ahli hikmah dan ahli syair. Didalam
kata-kata hikmah dan syair tersebut dapat dijumpai ajaran yang memerintahkan
agar berbuat baik dan menjauhkan keburukan. Hal demikian misalnya terlihat pada
kata-kata hikmah yang dikemukakan Luqmanul Hakim, Aktsam bin Shaifi, dan pada
syair yang dikarang oleh Zuhair bin Abi Sulma dan Hakim al-Thai.[6]
2.
Akhlak pada agama Islam
Ajaran
akhlak menemukan bentuknya yang sempurna pada agama Islam dengan titik
pangkalnya pada Tuhan dan akal manusia. Agama Islam pada intinya mengajak
manusia agar percaya kepada Tuhan dan mengakuinya bahwa Dialah Pencipta,
Pemilik, Pemelihara, Pelindung, Pemberi Rahmat, Pengasih dan Penyayang terhadap
segala makhluk-Nya.[7]
3.
Akhlak pada zaman baru
Pada
akhir abad kelimabelas Masehi, Eropa mulai mengalami kebangkitan dalam bidang
filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ahli bangsa Eropa termasuk Itali
mulai meningkatkan kegiatan dalam bidang filsafat Yunani, ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut. Kehidupan mereka yang semula terikat pada dogma kristiani,
khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan peran yang lebih besar kepada
kemampuan akal pikiran. Segala sesuatu yang selama ini dianggap mapan mulai
diteliti, dikritik, dan diperbarui hingga akhirnya mereka menerapkan pola
bertindak dan berpikir secara liberal.[8]
B.
Pengertian,
Ruang Lingkup dan Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
a.
Pengertian
Ada
dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu
pendekatan linguistik (kebahasaan)
dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu isim mashdar dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, yang
berarti perangai, kelakuan, tabi’at, watak dasar, kebiasaan, kelaziman,
peradaban yang baik dan agama.[9]
Sedangkan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada
berbagai pendapat para pakar yaitu :
1.
Menurut At-tahawani ilmu akhlak adalah
pembahasan tentang diri manusia dari segi kecenderungan-kecenderungannya,
hasrat-hasratnya, dan beragam potensi yang membuat manusia condong pada
kebaikan atau keburukan.[10]
2.
Menurut al-Mujam al-Wasit, akhlak adalah
sifat yang tertanam didalam jiwa, yang dengannya lahirnya macam-macam
perbuatan, baik atau buruk tanpa membutuhkan pemikiran atau pertimbangan.[11]
3.
Ibnu maskawaih sebagai pakar dibidang
akhlak mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan.[12]
4.
Menurut Assaf Muhammad Ahmad dalam
bukunya yang berjudul Berkas-berkas Cahaya Kenabian, akhlak adalah ruhnya umat.
Jika ruh itu sehat, umat akan hidup dalam keadaan kuat, terhormat dan disegani.
Sebaliknya, jika ruh itu sakit, rapuhlah umat, kekuatannya pudar, dan jadilah
ia santapan orang-orang yang lapar dan incaran musuh.[13]
b.
Ruang lingkup
Jika
definisi tentang ilmu akhlak tersebut kita perhatikan dengan seksama, akan
tampak bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah membahas tentang
perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut
tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Ilmu akhlak dapat pula
disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah laku
manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan tersebut.[14]
c.
Manfaat
Tujuan
atau manfaat mempelajari ilmu akhlak menurut para ahli :
1.
Menurut Ahmad Amin tujuan mempelajari
ilmu akhlak adalah kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya yang baik
maupun yang buruk.
2.
Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan
perbaikan akhlak itu adalah untuk membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa
nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat
menerima Nur cahaya Tuhan.[15]
3.
Ilmu ini menurut Ibnu Miskawaih
bertujuan agar manusia menjalankan perilaku yang baik dan santun tanpa unsur
ketertekanan maupun keberatan. Hal itu terjadi ketika moralitas yang baik ini
telah menjadi talenta yang menancap kokoh dalam diri hingga menjadi karakter
dirinya.[16]
4.
Menurut ajaran Al-Qur’an bahwa tujuan
yang hendak dicapai oleh risalah Nabi Muhammad adalah membersihkan dan
mensucikan jiwa dengan jalan mengenal Allah serta beribadah kepada-Nya,
mengokohkan hubungan antara manusia dengan menegakkannya diatas dasar kasih
sayang, persamaan dan keadilan, hingga demikian tercapailah kebahagiaan dan kedamaian
dalam hidup dan kehidupan manusia sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat.[17]
C.
Hubungan
Ilmu Akhlak dengan Ilmu Lainnya
Pada
dasarnya setiap ilmu pengetahuan satu dan lainnya saling berhubungan. Namun
hubungan tersebut ada yang sifatnya berdekatan, yang pertengahan dan ada pula
yang agak jauh. Ilmu-ilmu yang hubungannya dengan ilmu akhlak dapat
dikategorikan berdekatan antara lain dengan ilmu tasawuf, ilmu tauhid, ilmu
pendidikan, ilmu jiwa dan filsafat. Yang dikategorikan pertengahan yaitu ilmu
hukum, ilmu sosial, ilmu sejarah dan ilmu antropologi. Dan ilmu-ilmu yang agak
jauh hubungannya adalah ilmu fisika, biologi dan ilmu politik.[18]
1.
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf
Hubungannya
adalah ketika mempelajari tasawuf, ternyata pula Al-Qur’an dan al-hadist
mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan hadist menekankan nilai-nilai kejujuran,
kesetiakawanan, persaudaraan, rasa sosial, keadilan, tolong menolong, murah
hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, ramah, bersih hati disiplin, hemat
dan lain-lain. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat
hubungannya dengan akhlak.[19]
2.
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tauhid
Hubungan
ilmu akhlak dengan ilmu tauhid dapat dilihat melalui dua analisi yaitu yang Pertama, dilihat dari segi obyek
pembahasannya, ilmu tauhid membahas masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan
perbuatan. Dengan demikian, ilmu tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia
menjadi ikhlas, dan keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak yang mulia. Kedua, dilihat dari segi fungsinya.
Fungsi ilmu tauhid adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh
terhadap subyek yang terdapat didalam rukum iman. Dengan cara demikian, maka
beriman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang
mulia.[20]
3.
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu
pendidikan
Ilmu
pendidikan banyak dijumpai dalam berbagai literatur mengenai aspek yang ada
hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Semua aspek pendidikan
ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan ini dalam
pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang berakhlak.[21]
4.
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu jiwa
Dilihat
dari segi bidang garapannya, ilmu jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan
yang tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui sifat-sifat
psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat
serta dekat dengan Tuhan misalnya, akan melahirkan perbuatan dan sikap yang
tenang pula, dan begitupun sebaliknya.[22]
5.
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu
filsafat
Filsafat
adalah suatu upaya berpikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya,
universal dan sistematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat mengenai
segala sesuatu. Dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan
hakikatnya. Dalam filsafat juga membahas tentang Tuhan, alam dan makhluk
lainnya. Dari pembahasan ini akan dapat diketahui dan dirumuskan tentang
cara-cara berhubungan dengan Tuhan dan memperlakukan makhluk serta alam
lainnya. Dengan demikian dapat diwujudkan akhlak yang baik terhadap Tuhan,
manusia, alam dan makhluk Tuhan lainnya.[23]
D.
Macam-macam
Akhlak
1.
Akhlak kepada
Allah
a. Beribadah
kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai
dengan perintah-Nya. Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukkan terhadap
perintah Allah.
b. Berzikir
kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik
diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berzikir kepada Allah melahirkan
ketenangan dan ketentraman hati.
c. Berdo’a
kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah,
karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia,
sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Kekuatan
do’a dalam ajaran Islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus kekuatan
akal manusia. Oleh karena itu berusaha dan berdo’a merupakan dua sisi tugas
hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktifitas hidup setiap muslim. Orang
yang tidak pernah berdo’a adalah orang yang tidak menerima keterbatasan dirinya
sebagai manusia karena itu dipandang sebagai orang yang sombong, suatu perilaku
yang tidak disukai Allah.
d. Tawakal
kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil
pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan.
e. Tawaduk
kepada Allah, yaitu rendah hati di hadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah
dan hina di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, oleh karena itu tidak layak kalau
hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih
dalam melaksanakan ibadah kepada Allah.[24]
2.
Akhlak kepada
diri sendiri
a.
Sabar. Secara etimologi kata sabar
berasal dari bahasa Arab Shabr merupakan bentuk masdhar dari kata shabara-yashbiru yang diantaranya
artinya adalah menahan. Sedangkan Ibrahim Al-Abyary mengartikan sabar adalah
menahan diri dalam kesulitan. Secara terminology, sabar adalah mengendalikan
diri terhadap apa yang dikehendaki oleh akal dan syara’ atau keduanya.[25]
b.
Syukur, yaitu sikap berterima kasih atas
pemberian nikmat Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan
dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Syukur dengan ucapan adalah memuji Allah
dengan bacaan alhamdulillah, sedangkan syukur dengan perbuatan dilakukan dengan
menggunakan dan memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan aturan-Nya.
c.
Tawaduk, yaitu rendah hati, selalu
menghargai siapa saja yang dihadapinya orang tua, muda, kaya atau miskin. Sikap
tawaduk melahirkan ketenangan jiwa, menjauhkan dari sifat iri dan dengki yang
menyiksa diri sendiri dan tidak menyenangkan orang lain.[26]
3.
Akhlak kepada
keluarga
Akhlak
terhadap keluarga adalah mengembangkann kasih sayang di antara anggota keluarga
yang diungkapkan dalam bentuk komunikasi. Akhlak kepada ibu bapak adalah
berbuat baik kepada keduanya dengan ucapan dan perbuatan. Berbuat baik kepada ibu
bapak dibuktikan dalam bentuk-bentuk perbuatan antara lain : menyayangi dan
mencintai ibu bapak sebagai bentuk terima kasih dengan cara bertutur kata sopan
dan lemah lembut, mentaati perintah, meringankan beban, serta menyantuni mereka
jika sudah tua dan tidak mampu lagi berusaha. Komunikasi yang didorong oleh
rasa kasih sayang yang tulus akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga.
Salah
satu akhlak kepada keluarga adalah birrul walidain. Birrul walidaini berasal
dari bahasa arab yang terdiri kata birru artinya kebajikan dan al-walidaini
artinya dua orang tua atau bapak ibu. Jadi, birrul walidaini adalah
melaksanakan kebajikan dan berbuat baik kepada kedua orang tua, seperti yang
terdapat dalam surat Al-Isra ayat 23 :
وَقَضَىٰ
رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya :
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia.”(QS.Al-Isra 17: 23).
Apabila
kasih sayang telah mendasari komunikasi orang tua dengan anak, maka akan lahir
wibawa pada orang tua. Demikian sebaliknya, akan lahir kepercayaan orang tua
pada anak oleh karena itu kasih sayang harus menjadi muatan utama dalam
komunikasisemua pihak dalam keluarga. Dari komunikasi semacam itu akan lahir
saling keterikatan batin,keakraban, dan keterbukaan di antara anggota keluarga
dan menghapuskan kesenjangan di antara mereka. Dengan demikian rumah bukan
hanya menjadi tempat menginap, tetapi betul-betul menjadi tempat tinggal yang
damai dan menyenangkan, menjadi surge bagi penghuninya. Melalui komunikasi
seperti itu pula dilakukan pendidikan dalam keluarga, yaitu menanamkan
nilai-nilai moral kepada anak-anak sebagai landasan bagi pendidikan yang akan
mereka terima pada masa-masa selanjutnya.[27]
4.
Akhlaq
Bermasyarakat
a.
Bertamu
Sebelum
memasuki rumah seseorang, hendaklah yang bertamu terlebih dahulu meminta izin
dan mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا
غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki
rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan member salam kepada
penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.”
(QS.An-Nur 24: 27).
b.
Hubungan
Baik dengan Tetangga
Buruk baiknya sikap tetangga kepada kita tergantung juga
bagaimana kita bersikap kepada mereka. Oleh sebab itu sangat dapat dimengerti
kenapa Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik dengan tetangga,
baik tetangga dekat maupun tetangga jauh. Allah SWT berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ
وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ
بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
Artinya :
“Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil
dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
dan membanggakan diri.” (QS.An-Nisa 4: 36).[28]
5.
Akhlak kepada
sesama manusia
a.
Akhlak terpuji
(Mahmudah)
1)
Husnuzan
Berasal dari lafal Husnun (baik) dan
Adhamu (prasangka). Husnuzan berarti prasangka, perkiraan, dugaan baik. Lawan
kata husnuzan adalah suuzan yakni berprasangka buruk terhadap seseorang.
2)
Tawaduk
Tawaduk berarti rendah hati. Orang yang
tawaduk berarti orang yang merendahkan diri dalam pergaulan. Lawan kata tawaduk
adalah takabur. Allah berfirman, Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya,
dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ”Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” (Q.S. Al
Isra/17:24) Ayat ini menjelaskan perintah tawaduk kepada kedua orang tua.
3)
Tasamu
Artinya sikap tenggang rasa, saling
menghormati dan saling menghargai sesama manusia. Allah berfirman, ”Untukmu
agamamu, dan untukku agamaku (Q.S. Alkafirun/109: 6) Ayat tersebut menjelaskan
bahwa masing-masing pihak bebas melaksanakan ajaran agama yang diyakini.
4)
Ta’awun
Ta’awun berarti tolong menolong, gotong
royong, bantu membantu dengan sesama manusia. Allah berfirman, ”dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”(Q.S. Al Maidah/5:2).
b.
Akhlak tercela
(Mazmumah)
1)
Hasad
Artinya iri hati, dengki. Iri berarti
merasa kurang senang atau cemburu melihat orang lain beruntung. Allah
berfirman, ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan
Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain, karena bagi laki-laki ada
bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari
mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya...” (Q.S.
AnNisa/4:32).
2)
Dendam
Dendam yaitu keinginan keras yang
terkandung dalam hati untuk membalas kejahatan. Allah berfirman, ”Dan jika kamu
membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang
ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhlah itulah yang
terbaik bagi orang yang sabar” (Q.S. An Nahl/16:126).
3)
Gibah dan
Fitnah
Membicarakan kejelekan orang lain dengan
tujuan untuk menjatuhkan nama baiknya. Apabila kejelekan yang dibicarakan
tersebut memang dilakukan orangnya dinamakan gibah. Sedangkan apabila kejelekan
yang dibicarakan itu tidak benar, berarti pembicaraan itu disebut fitnah. Allah
berfirman, ”...dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang
lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Tentu kamu merasa jijik...” (Q.S. Al Hujurat/ 49:12).
4)
Namimah
Adu domba atau namimah, yakni
menceritakan sikap atau perbuatan seseorang yang belum tentu benar kepada orang
lain dengan maksud terjadi perselisihan antara keduanya. Allah berfirman,
”Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu
membawa suatu berita maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu
kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu
itu.” (Q.S. Al Hujurat/49:6).[29]
E.
Pengertian
Etika dan Ruang Lingkupnya
Dari
segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ”ethos”
yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Etika menurut
filasafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana
yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui
oleh akal pikiran.[30]
Etika menurut Ahmad Amin adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang
harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang seharusnya diperbuat.[31]
Secara
umum ruang lingkup etika adalah :
a.
Etika menyelidiki sejarah dalam berbagai
aliran, lama dan baru tentang tingkah laku manusia.
b.
Etika membahas tentang cara-cara
menghukum, menilai baik dan buruknya suatu pekerjaan.
c.
Etika menyelidiki faktor-faktor penting
yang mencetak, mempengaruhi dan mendorong lahirnya tingkah laku manusia.
d.
Etika menerangkan mana yang baik dan
mana pula yang buruk, menurut ajaran Islam etika yang baik itu harus bersumber
pada Al-Qur’an dan hadist.
e.
Etika mengajarkan cara-cara perlu
ditempuh, juga untuk meningkatkan budi pekerti ke jenjang kemuliaan.
f.
Etika menegaskan arti dan tujuan hidup
yang sebenarnya.[32]
F.
Hubungan
Etika dengan Akhlak
Dilihat
dari fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa etika dan akhlak sama, yaitu
menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk
ditentukan baik buruknya. Perbedaan antara etika dengan akhlak adalah terletak
pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam
etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, sedangkan pada
akhlak ukuran yang digunakan untuk mengukur baik dan buruk adalah Al-Qur’an dan
Hadist. Dengan demikian standar nilai etika bersifat lokal dan temporal,
sedangkan standar akhlak bersifat universal dan abadi. Dalam pandangan Islam,
akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu
akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan
harus ditampilkan dalam prilaku nyata sehari-hari.[33]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Akhlak
a.
Ilmu akhlak diluar agama Islam
b.
Akhlak pada bangsa Yunani
c.
Akhlak pada agama Nasrani
d.
Akhlak pada bangsa Romawi (abad
pertengahan)
e.
Akhlak pada bangsa Arab
f.
Akhlak pada agama Islam
g.
Akhlak pada zaman baru
2.
Pengertian,
Ruang Lingkup dan Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
Menurut At-tahawani ilmu akhlak adalah pembahasan
tentang diri manusia dari segi kecenderungan-kecenderungannya,
hasrat-hasratnya, dan beragam potensi yang membuat manusia condong pada
kebaikan atau keburukan. Ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah membahas
tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan
tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Ilmu akhlak
dapat pula disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal
tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan
tersebut.
Menurut Ahmad Amin tujuan mempelajari ilmu akhlak
adalah kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya yang baik maupun yang
buruk.
3.
Hubungan
Ilmu Akhlak dengan Ilmu Lainnya
Pada dasarnya
setiap ilmu pengetahuan satu dan lainnya saling berhubungan. Namun hubungan
tersebut ada yang sifatnya berdekatan, yang pertengahan dan ada pula yang agak
jauh. Ilmu-ilmu yang hubungannya dengan ilmu akhlak dapat dikategorikan
berdekatan antara lain dengan ilmu tasawuf, ilmu tauhid, ilmu pendidikan, ilmu
jiwa dan filsafat. Yang dikategorikan pertengahan yaitu ilmu hukum, ilmu
sosial, ilmu sejarah dan ilmu antropologi. Dan ilmu-ilmu yang agak jauh
hubungannya adalah ilmu fisika, biologi dan ilmu politik.
4.
Macam-macam
Akhlak
a.
Akhlak kepada
Allah
b.
Akhlak kepada
diri sendiri
c.
Akhlak kepada
keluarga
d.
Akhlaq
Bermasyarakat
e.
Akhlak kepada
sesama manusia
5.
Pengertian
Etika dan Ruang Lingkupnya
Dari segi
etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ”ethos”
yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Secara umum
ruang lingkup etika adalah : Etika menyelidiki sejarah dalam berbagai aliran,
lama dan baru tentang tingkah laku manusia, Etika membahas tentang cara-cara
menghukum, menilai baik dan buruknya suatu pekerjaan.
6.
Hubungan
Etika dengan Akhlak
Dilihat dari
fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa etika dan akhlak sama, yaitu
menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk
ditentukan baik buruknya. Perbedaan antara etika dengan akhlak adalah terletak
pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam
etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, sedangkan pada
akhlak ukuran yang digunakan untuk mengukur baik dan buruk adalah Al-Qur’an dan
Hadist.
[2]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2006), h. 58.
[10]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak (Jakarta :
AMZAH, 2013), h. 223.
[11]
Heny Narendrany Hidayati, Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa
(Jakarta : UIN Jakarta Press, 2009), h. 7.
[12]
Abuddin Nata, Ibid., h. 3.
[13]
Muhammad Ahmad Assaf, Berkas-berkas Cahaya Kenabian (Solo :
Era Intermedia, 2001), h. 169.
[14]
Abuddin Nata, Ibid., h. 8.
[16]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Ibid., h. 224.
[17]
Heny Narendrany Hidayati, Ibid., h. 16.
[18]
Abuddin Nata, Ibid., h. 17.
[24]
Heny Narendrany Hidayati, Ibid., h. 20.
[25]
Indriati, Sabar dalam Pandangan Imam Al-Ghazali
(Ciputat : Lembaga Kajian Islam “Nugraha”, 2009), h. 3.
[26]
Heny Narendrany Hidayati, Ibid., h. 22.
[27]
Heny Narendrany Hidayati, Ibid., h. 24.
[28]
Heny Narendrany Hidayati, Ibid., h. 25.
[29]
Heny Narendrany Hidayati, Ibid., h. 27.
[30]
Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2006), h. 4.
[31]
Abuddin Nata, Ibid., h. 90.
[32]
Yatimin Abdullah, h. 12.
[33]
Abuddin Nata, Ibid., h. 97.
0 komentar:
Posting Komentar