Jumat, 06 November 2015

AKHLAK

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang santun karena dalam islam sangat menjunjung tinggi pentingnya etika, moral dan akhlak. Akhlak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak mencakup segala pengertian tingkah laku, tabi'at, perangai, karakter manusia yang baik maupun yang buruk dalam hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama makhluk. Rasulullah saw bersabda: " Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling baik akhlaknya". Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jika kita perhatikan, akhir-akhir ini banyak orang telah mengabaikan pembinaan akhlak dan etika, padahal masalah akhlak tidak bisa dianggap remeh, karena akhlak merupakan kunci perubahan individu, sosial atau kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki. Pada makalah ini saya akan memaparkan penjelasan secara umum mengenai akhlak dan etika.
B.       Rumusan Masalah
1.         Jelaskan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak ?
2.         Apa pengertian, ruang lingkup dan manfaat mempelajari ilmu akhlak ?
3.         Apa hubungan ilmu akhlak dengan ilmu lainnya ?
4.         Jelaskan macam-macam akhlak ?
5.         Apa pengertian etika dan ruang lingkupnya ?
6.         Jelaskan hubungan etika dengan akhlak ?
C.      Tujuan
1.      Mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak.
2.      Mengetahui pengertian, ruang lingkup dan manfaat mempelajari ilmu akhlak.
3.      Memahami hubungan ilmu akhlak dengan ilmu lainnya.
4.      Memahami macam-macam akhlak.
5.      Mengetahui pengertian etika dan ruang lingkupnya.
6.      Memahami hubungan etika dengan akhlak.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Akhlak
Menurut Ahmad Amin dalam bukunya yang berjudul Etika (Ilmu Akhlak), pembahasan mengenai pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak menggunakan pendekatan kebangsaan, religi dan periodesasi. Dengan pendekatan seperti ini ia membahas pertumbuhan dan perkembangan akhlak pada bangsa Yunani, dalam abad pertengahan, pada bangsa Arab, pada agama Islam dan pada zaman baru.[1] Sedangkan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak dalam buku Akhlak Tasawuf karangan Abuddin Nata menggunakannya dengan pendekatan religi. Dengan pendekatan religi ini, pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak dapat dibagi pada dua bagian. Pertama, pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak diluar ajaran Islam (non Muslim) dan yang kedua, didalam ajaran Islam. Cara ini ditempuh karena secara historis keberadaan perkembangan adat istiadat masyarakat termasuk agama dan akhlak pada masyarakat diluar Islam telah ada lebih dahulu dibandingkan dengan ajaran akhlak yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.[2]
1.         Ilmu akhlak diluar agama Islam
a.         Akhlak pada bangsa Yunani
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut  Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana. Sedangkan sebelum itu dikalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam. Dasar yang digunakan para pemikir Yunani dalam membangun ilmu akhlak adalah pemikiran filsafat tentang manusia. Sejarah mencatat, bahwa filosof Yunani yang pertama kali mengemukakan pemikiran dibidang akhlak adalah Socrates. Keseluruhan ajaran akhlak yang dikemukakan para pemikir Yunani tampak bersifat rasionalistik, yaitu penentuan baik dan buruk didasarkan pada pendapat akal pikiran yang sehat dari manusia.[3]


b.         Akhlak pada agama Nasrani
Pada akhir abad ketiga Masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasi mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang tersebar dalam kitab Taurat dan Injil. Menurut agama ini bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Ajaran akhlak pada agama Nasrani ini tampak bersifat teo-centri (memusat pada Tuhan) dan sufistik (bercorak batin). Agama ini menghendaki agar manusia berusaha sungguh-sungguh mensucikan roh yang terdapat pada dirinya dari perbuatan dosa, baik dalam bentuk pemikiran maupun perbuatan. Dengan demikian, agama ini menjadikan roh sebagai kekuasaan yang dapat mengalahkan hawa nafsu syahwat. Akibat dari paham akhlak yang demikian itu, kebanyakan para pengikut pertama dari agama ini suka menyiksa dirinya, menjauhi dunia yang fana, beribadah, zuhud dan hidup menyendiri.[4]
c.         Akhlak pada bangsa Romawi (abad pertengahan)
Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad ini adalah ajaran akhlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran Nasrani. Diantara mereka yang termasyhur adalah Abelard, seorang ahli filsafat Perancis, dan Thomas Aquinas, seorang ahli filsafat Agama berkebangsaan Itali. Corak ajaran akhlak yang sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran agama itu, nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat dalam Islam, sebagaimana terlihat pada pemikiran akhlak yang dikemukakan kaum muktazilah.[5]
d.        Akhlak pada bangsa Arab
Bangsa Arab pada zaman jahiliyah tidak mempunyai ahli-ahli filsafat yang mengajak kepada aliran paham tertentu. Hal tersebut karena tidak berkembangnya kegiatan ilmiah dikalangan masyarakat Arab. Pada masa itu bangsa Arab hanya mempunyai ahli-ahli hikmah dan ahli syair. Didalam kata-kata hikmah dan syair tersebut dapat dijumpai ajaran yang memerintahkan agar berbuat baik dan menjauhkan keburukan. Hal demikian misalnya terlihat pada kata-kata hikmah yang dikemukakan Luqmanul Hakim, Aktsam bin Shaifi, dan pada syair yang dikarang oleh Zuhair bin Abi Sulma dan Hakim al-Thai.[6]

2.         Akhlak pada agama Islam
Ajaran akhlak menemukan bentuknya yang sempurna pada agama Islam dengan titik pangkalnya pada Tuhan dan akal manusia. Agama Islam pada intinya mengajak manusia agar percaya kepada Tuhan dan mengakuinya bahwa Dialah Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Pelindung, Pemberi Rahmat, Pengasih dan Penyayang terhadap segala makhluk-Nya.[7]
3.         Akhlak pada zaman baru
Pada akhir abad kelimabelas Masehi, Eropa mulai mengalami kebangkitan dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ahli bangsa Eropa termasuk Itali mulai meningkatkan kegiatan dalam bidang filsafat Yunani, ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Kehidupan mereka yang semula terikat pada dogma kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan peran yang lebih besar kepada kemampuan akal pikiran. Segala sesuatu yang selama ini dianggap mapan mulai diteliti, dikritik, dan diperbarui hingga akhirnya mereka menerapkan pola bertindak dan berpikir secara liberal.[8]

B.       Pengertian, Ruang Lingkup dan Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
a.         Pengertian
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologik (peristilahan). Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu isim mashdar dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, yang berarti perangai, kelakuan, tabi’at, watak dasar, kebiasaan, kelaziman, peradaban yang baik dan agama.[9] Sedangkan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar yaitu :
1.        Menurut At-tahawani ilmu akhlak adalah pembahasan tentang diri manusia dari segi kecenderungan-kecenderungannya, hasrat-hasratnya, dan beragam potensi yang membuat manusia condong pada kebaikan atau keburukan.[10]
2.        Menurut al-Mujam al-Wasit, akhlak adalah sifat yang tertanam didalam jiwa, yang dengannya lahirnya macam-macam perbuatan, baik atau buruk tanpa membutuhkan pemikiran atau pertimbangan.[11]
3.        Ibnu maskawaih sebagai pakar dibidang akhlak mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[12]
4.        Menurut Assaf Muhammad Ahmad dalam bukunya yang berjudul Berkas-berkas Cahaya Kenabian, akhlak adalah ruhnya umat. Jika ruh itu sehat, umat akan hidup dalam keadaan kuat, terhormat dan disegani. Sebaliknya, jika ruh itu sakit, rapuhlah umat, kekuatannya pudar, dan jadilah ia santapan orang-orang yang lapar dan incaran musuh.[13]
b.         Ruang lingkup
Jika definisi tentang ilmu akhlak tersebut kita perhatikan dengan seksama, akan tampak bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Ilmu akhlak dapat pula disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan tersebut.[14]
c.         Manfaat
Tujuan atau manfaat mempelajari ilmu akhlak menurut para ahli :
1.        Menurut Ahmad Amin tujuan mempelajari ilmu akhlak adalah kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya yang baik maupun yang buruk.
2.        Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu adalah untuk membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan.[15]
3.        Ilmu ini menurut Ibnu Miskawaih bertujuan agar manusia menjalankan perilaku yang baik dan santun tanpa unsur ketertekanan maupun keberatan. Hal itu terjadi ketika moralitas yang baik ini telah menjadi talenta yang menancap kokoh dalam diri hingga menjadi karakter dirinya.[16]
4.        Menurut ajaran Al-Qur’an bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh risalah Nabi Muhammad adalah membersihkan dan mensucikan jiwa dengan jalan mengenal Allah serta beribadah kepada-Nya, mengokohkan hubungan antara manusia dengan menegakkannya diatas dasar kasih sayang, persamaan dan keadilan, hingga demikian tercapailah kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup dan kehidupan manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.[17]

C.      Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Lainnya
Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan satu dan lainnya saling berhubungan. Namun hubungan tersebut ada yang sifatnya berdekatan, yang pertengahan dan ada pula yang agak jauh. Ilmu-ilmu yang hubungannya dengan ilmu akhlak dapat dikategorikan berdekatan antara lain dengan ilmu tasawuf, ilmu tauhid, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan filsafat. Yang dikategorikan pertengahan yaitu ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu sejarah dan ilmu antropologi. Dan ilmu-ilmu yang agak jauh hubungannya adalah ilmu fisika, biologi dan ilmu politik.[18]
1.         Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf
Hubungannya adalah ketika mempelajari tasawuf, ternyata pula Al-Qur’an dan al-hadist mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan hadist menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa sosial, keadilan, tolong menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, ramah, bersih hati disiplin, hemat dan lain-lain. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak.[19]
2.         Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tauhid
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tauhid dapat dilihat melalui dua analisi yaitu yang Pertama, dilihat dari segi obyek pembahasannya, ilmu tauhid membahas masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan. Dengan demikian, ilmu tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak yang mulia. Kedua, dilihat dari segi fungsinya. Fungsi ilmu tauhid adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subyek yang terdapat didalam rukum iman. Dengan cara demikian, maka beriman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.[20]
3.         Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu pendidikan
Ilmu pendidikan banyak dijumpai dalam berbagai literatur mengenai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Semua aspek pendidikan ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan ini dalam pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang berakhlak.[21]
4.         Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu jiwa
Dilihat dari segi bidang garapannya, ilmu jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui sifat-sifat psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan misalnya, akan melahirkan perbuatan dan sikap yang tenang pula, dan begitupun sebaliknya.[22]
5.         Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu filsafat
Filsafat adalah suatu upaya berpikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya, universal dan sistematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat mengenai segala sesuatu. Dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan hakikatnya. Dalam filsafat juga membahas tentang Tuhan, alam dan makhluk lainnya. Dari pembahasan ini akan dapat diketahui dan dirumuskan tentang cara-cara berhubungan dengan Tuhan dan memperlakukan makhluk serta alam lainnya. Dengan demikian dapat diwujudkan akhlak yang baik terhadap Tuhan, manusia, alam dan makhluk Tuhan lainnya.[23]

D.      Macam-macam Akhlak
1.         Akhlak kepada Allah
a.       Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya. Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukkan terhadap perintah Allah.
b.      Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketentraman hati.
c.       Berdo’a kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah, karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Kekuatan do’a dalam ajaran Islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus kekuatan akal manusia. Oleh karena itu berusaha dan berdo’a merupakan dua sisi tugas hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktifitas hidup setiap muslim. Orang yang tidak pernah berdo’a adalah orang yang tidak menerima keterbatasan dirinya sebagai manusia karena itu dipandang sebagai orang yang sombong, suatu perilaku yang tidak disukai Allah.
d.      Tawakal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan.
e.       Tawaduk kepada Allah, yaitu rendah hati di hadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, oleh karena itu tidak layak kalau hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam melaksanakan ibadah kepada Allah.[24]
2.         Akhlak kepada diri sendiri
a.         Sabar. Secara etimologi kata sabar berasal dari bahasa Arab Shabr merupakan bentuk masdhar dari kata shabara-yashbiru yang diantaranya artinya adalah menahan. Sedangkan Ibrahim Al-Abyary mengartikan sabar adalah menahan diri dalam kesulitan. Secara terminology, sabar adalah mengendalikan diri terhadap apa yang dikehendaki oleh akal dan syara’ atau keduanya.[25]
b.        Syukur, yaitu sikap berterima kasih atas pemberian nikmat Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Syukur dengan ucapan adalah memuji Allah dengan bacaan alhamdulillah, sedangkan syukur dengan perbuatan dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan aturan-Nya.
c.         Tawaduk, yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang dihadapinya orang tua, muda, kaya atau miskin. Sikap tawaduk melahirkan ketenangan jiwa, menjauhkan dari sifat iri dan dengki yang menyiksa diri sendiri dan tidak menyenangkan orang lain.[26]
3.         Akhlak kepada keluarga
Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkann kasih sayang di antara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk komunikasi. Akhlak kepada ibu bapak adalah berbuat baik kepada keduanya dengan ucapan dan perbuatan. Berbuat baik kepada ibu bapak dibuktikan dalam bentuk-bentuk perbuatan antara lain : menyayangi dan mencintai ibu bapak sebagai bentuk terima kasih dengan cara bertutur kata sopan dan lemah lembut, mentaati perintah, meringankan beban, serta menyantuni mereka jika sudah tua dan tidak mampu lagi berusaha. Komunikasi yang didorong oleh rasa kasih sayang yang tulus akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga.
Salah satu akhlak kepada keluarga adalah birrul walidain. Birrul walidaini berasal dari bahasa arab yang terdiri kata birru artinya kebajikan dan al-walidaini artinya dua orang tua atau bapak ibu. Jadi, birrul walidaini adalah melaksanakan kebajikan dan berbuat baik kepada kedua orang tua, seperti yang terdapat dalam surat Al-Isra ayat 23 :

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”(QS.Al-Isra 17: 23).
Apabila kasih sayang telah mendasari komunikasi orang tua dengan anak, maka akan lahir wibawa pada orang tua. Demikian sebaliknya, akan lahir kepercayaan orang tua pada anak oleh karena itu kasih sayang harus menjadi muatan utama dalam komunikasisemua pihak dalam keluarga. Dari komunikasi semacam itu akan lahir saling keterikatan batin,keakraban, dan keterbukaan di antara anggota keluarga dan menghapuskan kesenjangan di antara mereka. Dengan demikian rumah bukan hanya menjadi tempat menginap, tetapi betul-betul menjadi tempat tinggal yang damai dan menyenangkan, menjadi surge bagi penghuninya. Melalui komunikasi seperti itu pula dilakukan pendidikan dalam keluarga, yaitu menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anak sebagai landasan bagi pendidikan yang akan mereka terima pada masa-masa selanjutnya.[27]
4.         Akhlaq Bermasyarakat
a.         Bertamu
Sebelum memasuki rumah seseorang, hendaklah yang bertamu terlebih dahulu meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan member salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS.An-Nur 24: 27).
b.        Hubungan Baik dengan Tetangga
Buruk baiknya sikap tetangga kepada kita tergantung juga bagaimana kita bersikap kepada mereka. Oleh sebab itu sangat dapat dimengerti kenapa Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik dengan tetangga, baik tetangga dekat maupun tetangga jauh. Allah SWT berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا


Artinya :
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS.An-Nisa 4: 36).[28]
5.         Akhlak kepada sesama manusia
a.         Akhlak terpuji (Mahmudah)
1)        Husnuzan
Berasal dari lafal Husnun (baik) dan Adhamu (prasangka). Husnuzan berarti prasangka, perkiraan, dugaan baik. Lawan kata husnuzan adalah suuzan yakni berprasangka buruk terhadap seseorang.
2)        Tawaduk
Tawaduk berarti rendah hati. Orang yang tawaduk berarti orang yang merendahkan diri dalam pergaulan. Lawan kata tawaduk adalah takabur. Allah berfirman, Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya, dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ”Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” (Q.S. Al Isra/17:24) Ayat ini menjelaskan perintah tawaduk kepada kedua orang tua.
3)        Tasamu
Artinya sikap tenggang rasa, saling menghormati dan saling menghargai sesama manusia. Allah berfirman, ”Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (Q.S. Alkafirun/109: 6) Ayat tersebut menjelaskan bahwa masing-masing pihak bebas melaksanakan ajaran agama yang diyakini.
4)        Ta’awun
Ta’awun berarti tolong menolong, gotong royong, bantu membantu dengan sesama manusia. Allah berfirman, ”dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”(Q.S. Al Maidah/5:2).
b.         Akhlak tercela (Mazmumah)
1)        Hasad
Artinya iri hati, dengki. Iri berarti merasa kurang senang atau cemburu melihat orang lain beruntung. Allah berfirman, ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain, karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya...” (Q.S. AnNisa/4:32).
2)        Dendam
Dendam yaitu keinginan keras yang terkandung dalam hati untuk membalas kejahatan. Allah berfirman, ”Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhlah itulah yang terbaik bagi orang yang sabar” (Q.S. An Nahl/16:126).
3)        Gibah dan Fitnah
Membicarakan kejelekan orang lain dengan tujuan untuk menjatuhkan nama baiknya. Apabila kejelekan yang dibicarakan tersebut memang dilakukan orangnya dinamakan gibah. Sedangkan apabila kejelekan yang dibicarakan itu tidak benar, berarti pembicaraan itu disebut fitnah. Allah berfirman, ”...dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik...” (Q.S. Al Hujurat/ 49:12).
4)        Namimah
Adu domba atau namimah, yakni menceritakan sikap atau perbuatan seseorang yang belum tentu benar kepada orang lain dengan maksud terjadi perselisihan antara keduanya. Allah berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Q.S. Al Hujurat/49:6).[29]


E.       Pengertian Etika dan Ruang Lingkupnya
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Etika menurut filasafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.[30] Etika menurut Ahmad Amin adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.[31]
Secara umum ruang lingkup etika adalah :
a.         Etika menyelidiki sejarah dalam berbagai aliran, lama dan baru tentang tingkah laku manusia.
b.         Etika membahas tentang cara-cara menghukum, menilai baik dan buruknya suatu pekerjaan.
c.         Etika menyelidiki faktor-faktor penting yang mencetak, mempengaruhi dan mendorong lahirnya tingkah laku manusia.
d.        Etika menerangkan mana yang baik dan mana pula yang buruk, menurut ajaran Islam etika yang baik itu harus bersumber pada Al-Qur’an dan hadist.
e.         Etika mengajarkan cara-cara perlu ditempuh, juga untuk meningkatkan budi pekerti ke jenjang kemuliaan.
f.          Etika menegaskan arti dan tujuan hidup yang sebenarnya.[32]

F.       Hubungan Etika dengan Akhlak
Dilihat dari fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa etika dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya. Perbedaan antara etika dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, sedangkan pada akhlak ukuran yang digunakan untuk mengukur baik dan buruk adalah Al-Qur’an dan Hadist. Dengan demikian standar nilai etika bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar akhlak bersifat universal dan abadi. Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam prilaku nyata sehari-hari.[33]


























BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.         Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Akhlak
a.         Ilmu akhlak diluar agama Islam
b.         Akhlak pada bangsa Yunani
c.         Akhlak pada agama Nasrani
d.        Akhlak pada bangsa Romawi (abad pertengahan)
e.         Akhlak pada bangsa Arab
f.          Akhlak pada agama Islam
g.         Akhlak pada zaman baru
2.         Pengertian, Ruang Lingkup dan Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
Menurut At-tahawani ilmu akhlak adalah pembahasan tentang diri manusia dari segi kecenderungan-kecenderungannya, hasrat-hasratnya, dan beragam potensi yang membuat manusia condong pada kebaikan atau keburukan. Ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Ilmu akhlak dapat pula disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan tersebut.
Menurut Ahmad Amin tujuan mempelajari ilmu akhlak adalah kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya yang baik maupun yang buruk.
3.         Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Lainnya
Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan satu dan lainnya saling berhubungan. Namun hubungan tersebut ada yang sifatnya berdekatan, yang pertengahan dan ada pula yang agak jauh. Ilmu-ilmu yang hubungannya dengan ilmu akhlak dapat dikategorikan berdekatan antara lain dengan ilmu tasawuf, ilmu tauhid, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan filsafat. Yang dikategorikan pertengahan yaitu ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu sejarah dan ilmu antropologi. Dan ilmu-ilmu yang agak jauh hubungannya adalah ilmu fisika, biologi dan ilmu politik.
4.         Macam-macam Akhlak
a.         Akhlak kepada Allah
b.         Akhlak kepada diri sendiri
c.         Akhlak kepada keluarga
d.        Akhlaq Bermasyarakat
e.         Akhlak kepada sesama manusia
5.         Pengertian Etika dan Ruang Lingkupnya
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Secara umum ruang lingkup etika adalah : Etika menyelidiki sejarah dalam berbagai aliran, lama dan baru tentang tingkah laku manusia, Etika membahas tentang cara-cara menghukum, menilai baik dan buruknya suatu pekerjaan.
6.         Hubungan Etika dengan Akhlak
Dilihat dari fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa etika dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya. Perbedaan antara etika dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, sedangkan pada akhlak ukuran yang digunakan untuk mengukur baik dan buruk adalah Al-Qur’an dan Hadist.



[1] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak) (Jakarta : PT Karya Unipress, 1995), h. 141.
[2] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 58.
[3] Ibid., h. 63
[4] Ibid., h. 64.
[5] Ibid., h. 65.
[6] Ibid., h. 66.
[7] Ibid., h. 67.
[8] Ibid., h. 81.
[9] Ibid., h. 1.
[10] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak (Jakarta : AMZAH, 2013), h. 223.
[11] Heny Narendrany Hidayati, Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2009), h. 7.
[12] Abuddin Nata, Ibid., h. 3.
[13] Muhammad Ahmad Assaf, Berkas-berkas Cahaya Kenabian (Solo : Era Intermedia, 2001), h. 169.
[14] Abuddin Nata, Ibid., h. 8.
[15] Ibid., h. 13.
[16] Muhammad Fauqi Hajjaj, Ibid., h. 224.
[17] Heny Narendrany Hidayati, Ibid., h. 16.
[18] Abuddin Nata, Ibid., h. 17.
[19] Ibid., h. 18.
[20] Ibid., h. 20.
[21] Ibid., h. 36.
[22] Ibid., h. 32.
[23] Ibid., h. 41.
[24] Heny Narendrany Hidayati, Ibid., h. 20.
[25] Indriati, Sabar dalam Pandangan Imam Al-Ghazali (Ciputat : Lembaga Kajian Islam “Nugraha”, 2009), h. 3.
[26] Heny Narendrany Hidayati, Ibid., h. 22.
[27] Heny Narendrany Hidayati, Ibid., h. 24.
[28] Heny Narendrany Hidayati, Ibid., h. 25.
[29] Heny Narendrany Hidayati, Ibid., h. 27.
[30] Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 4.
[31] Abuddin Nata, Ibid., h. 90.
[32] Yatimin Abdullah, h. 12.
[33] Abuddin Nata, Ibid., h. 97.

0 komentar:

Posting Komentar

 

KUMPULAN MAKALAH KULIAH Template by Ipietoon Cute Blog Design